Simple Life of Mine: June 2011

Friday, June 10, 2011

Berbagai Resep Cantik yang Tersedia di Dapur Anda

Dengan kondisi tubuh yang tidak fit, aku mulai berselancar di dunia maya sekedar untuk melepaskan kejenuhan. Tanpa sengaja aku menemukan artikel singkat ini dari Yahoo! dan sangat tertarik untuk mempraktikkan semua saran yang disampaikan. Semoga juga artikel ini bermanfaat buat yang lain.
Nice trying ... ^^

----------------------------------------------------

Tak suka masak dan jarang ke dapur? Mungkin setelah Anda membaca tulisan ini, Anda akan berubah pikiran. Pasalnya, banyak benda di dapur Anda yang ternyata bisa membuat kita cantik. Apa saja?


1. Timun
   Sari timun sangat baik untuk dijadikan toner bagi anda yang memiliki kulit berminyak. Atau, campurkan dengan susu dan jadikan sebagai pembersih wajah.

2. Madu
   Selain bisa membunuh kuman, madu juga bisa kita campur dengan lotion atau sabun cair untuk membuat kulit jadi ekstra halus. Campurkan madu dengan susu, jadilah lotion yang akkan membuat kulit kita bercahaya.

Tuesday, June 7, 2011

Bekerja atau Berkarya?


Saat diminta bantuan untuk lembur, beberapa orang karyawan di suatu bagian secara spontan nyeletuk, “Yak, tergantung imbalannya” Mendengar hal ini, atasan pun berkomentar agar orang yang menolak lembur mengundurkan diri saja, karena melihat mereka sungguh-sungguh tidak memikirkan kepentingan perusahaan dan hanya memikirkan kepentingan diri pribadi. Meskipun loyalitas pada perusahaan oleh beberapa pihak dianggap sudah kuno, tetapi hitung-hitungan pekerjaan tentu sudah lebih ketinggalan jaman lagi. Bila kontribusi yang bersedia kita berikan selalu dihitung dengan apa yang diberikan oleh perusahaan, bukankah kita sendiri yang rugi karena tidak bisa secara utuh menghasilkan karya terbaik kita? Apakah kita bisa happy bila bekerja dengan separuh hati saja? Bayangkan juga apa jadinya bila para prajurit tidak sepenuh hati membela negara karena hitung-hitungan dengan imbalan yang diterima dari negara.
Seorang teman yang dikenal sukses dalam menerapkan perbaikan sistem dan pencapaian target, baru menyadari bahwa sudah tiga tahun terakhir semua usulan perbaikannya tidak mendapat persetujuan. la pun jadi kehilang­an “purpose” dalam pekerjaannya dan mulai mempertanyakan “makna” bekerjanya. Di satu sisi, ia tahu sudah memiliki posisi baik dan gaji yang lumayan, sehingga tidak mudah hengkang begitu saja ke tempat lain. Gairahnya untuk memahami manajemen dan menyamakan derap sudah hilang.
“Saya kerja semata untuk hidup”, begitu komentarnya. Kita lihat hilangnya gairah kerja bisa terjadi di level mana pun, mulai dari pelaksana sampai manajerial. Pertanyaan bagi perusahaan, bisakah kita mengandalkan karyawan yang hanya datang kerja dengan mental dan sikap kerja tanpa gairah seperti ini? Pertanyaan bagi individu­nya, apakah kita ingin meneruskan hidup tanpa gairah seperti ini?
Ciptakan dan rasakan “magic”
Pencipta logo “I  NY", Milton Glaser, pernah mengatakan bahwa bekerja hanya benar-benar disebut kerja bila kita bisa berada di tingkat yang lebih tinggi daripada tujuan obyektifnya. Seorang manajer HRD berkata, “Saya ingin zero absenteeism”. Berbagai upaya ia lakukan untuk mencapai targetnya tersebut, mulai dari sosialisasi per­aturan, juga melakukan pendekatan persuasi. la sama sekali tidak tergantung atasan maupun manajemen perusahaan karena sudah menjadikan sasaran tugas sebagai obsesi pribadinya. Dengan rasa seperti itu, ia merasa menjadi majikan bagi dirinya sendiri. Pekerjaan akan dirasakan sebagai karyanya bukan sekadar tugas. Kita lihat bahwa bila meletakkan kerja lebih tinggi dari tujuan objektifnya, kita bisa memiliki spirit, energi, dan merasakan hal-hal misterius dan “magic” dari tugas tersebut.
Sebetulnya terkadang kita tidak bisa secara kasat mata membedakan seorang frontliner yang bekerja dengan passion sampai tingkat “artistik” dengan temannya yang sekadar melaksanakan pekerjaan dengan sungguh-sungguh. Namun, kita bisa melihat dampak dari hasil kerjanya berbeda. Individunya sendiri pun akan merasakan gairah yang berbeda, karena penemuan misteri, solusi, dan tantangan selalu ada dalam tugasnya. Ini membuat pekerjaan menjadi hidup dan eksperimental.
Bagaimana dengan pegawai negeri yang terkenal cenderung digaji lebih kecil dari pegawai swasta? Kita lihat seorang petugas pembuat paspor sekalipun ada yang begitu terampil menguasai pekerjaannya dan begitu menikmati pekerjaannya, seolah tidak peduli pada imbalan yang ia terima. Individu seper­ti ini sudah mengintegrasikan emosi dan “passion” dengan tugasnya. Sasaran kerjanya sangat personal dan bergereget. Kita lihat apa pun pekerjaan dan jabatan kita, kita bisa menyusun standar pribadi yang bahkan lebih tinggi dari tuntutan jabatan atau peru­sahaan. Inilah yang bisa membuat kita merasakan “magic” dan bekerja dengan tingkatan yang lebih tinggi.
Gaya kerja relawan           
Suatu kali saya mendapat kandidat yang istimewa. Saat wawancara, ia bertanya apakah boleh memberi usulan perbaikan dan berpartisipasi dalam acara “brainstorming” di perusahaan? la juga menggali apakah kalau ada kesempatan ia diperbolehkan menentukan prioritasnya sendiri dan sasa­ran-sasaran kecil sejalan dengan sasaran yang ditetapkan perusahaan. Alangkah mudahnya perusahaan berkembang bila memiliki kualitas karyawan yang “memilih” cara untuk mencapai kepuasan kerjanya dengan rasa berkarya seperti ini. Guru manajemen, Peter Drucker pun mengatakan bahwa kita perlu memilih karyawan yang bersikap seperti relawan, mempunyai misi pribadi yang jelas, serta bisa memberikan alasan yang kuat mengapa mereka bergabung di organisasi. Karyawan mesti mengenal dan menyukai “game”-nya!.
Kita bisa belajar dari Google yang senan­tiasa mengupayakan rasa bekerja di “perusa­haan kecil” pada karyawannya, sehingga apa pun upaya yang dilakukan karyawan terdeteksi dan diapresiasi, agar karyawan tetap kreatif dan berusaha untuk berkarya terus. Pekerjaan tidak lagi kaku dan berkesan formal, tetapi lebih kental bergaya maha­siswa atau relawan. Dengan gaya kerja seperti ini, hubungan satu sama lain juga seperti hubungan dengan “teman main”. “Work & play” sudah tidak terpisahkan lagi. Bukannya tidak ada persaingan, tetapi persaingan lebih banyak pada keinginan untuk melebihi teman kerja dalam keung­gulan karya dan buah pikiran masing­-masing. Hal yang sering dilupakan pemberi kerja adalah setiap individu mempunyai potensi untuk menjadi idealis. Dengan memberi kesempatan agar para karyawan berkarya sesuai dengan hal-hal yang mereka anggap benar, mereka akan tumbuh lebih percaya diri dan berani mengembangkan idealisme profesinya. Tanpa perlu mengada­kan Quality Control secara sengaja dan ter­pisah, seluruh karyawan sudah memperbai­ki, bahkan bersikap kritis terhadap kualitas kerja. “Being a part of something that matters and working on products in which you can believe is remarkably fulfilling”. “Life is beautiful.” Ini komentar CEO Google.

KOMPAS KLASIKA
Sabtu, 26 Februari 2011
Eileen Rachman & Sylvina Savitri
EXPERD
EMPLOYEE ENGAGEMENT SURVEY

Menuju Sukses dengan Antusiasme


“Nothing great was ever achieved without enthusiasm. Tidak ada keberhasilan yang dapat tercapai tanpa antusiasme.” Ralph Waldo Emerson

SIKAP ANTUSIAS AKAN MEMBAWA KITA PADA PERASAAN, PIKIRAN, DAN TINDAKAN YANG POSITIF. ANTUSIASME ADALAH RAHASIA KEBERHASILAN YANG TERSEMBUNYI.

Kata antusias (enthusiastic) berasal dari Bahasa Yunani “entheos” yang berarti “Tuhan di dalam”, dan antusiasme (enthusiasm) yang berarti “diilhami oleh Tuhan”. Sedangkan menurut Kamus Webster, antusiasme adalah perasaan senang luar biasa untuk menggapai sesuatu. Yang artinya, ketika seseorang memiliki antusiasme atau semangat dalam diri sendiri, maka ia akan merasa sangat senang dan bahagia untuk mencapai mimpi.

Percayalah, setiap sukses besar akan selalu disertai dengan antusiasme besar dalam proses pencapaiannya. Sebaliknya, kegagalan selalu didampingi oleh kecilnya antusiasme, atau mungkin bahkan tidak adanya semangat antusiasme dalam mencapai suatu tujuan. Sikap antusias atau bersemangat adalah syarat umum bagi seseorang yang menginginkan kesuksesan dalam hidupnya.

Seseorang boleh saja mempunyai tujuan, keinginan, sasaran, atau rencana yang sudah terjadwal dengan baik untuk segera dilaksanakan. Tetapi jika dalam pelaksanaannya tersebut tidak diiringi dengan antusiasme di dalamnya, maka hal itu tidak akan ada manfaatnya. Selalu mempunyai semangat atau antusiasme di dalam setiap hal yang dilakukan, akan semakin mendekatkan diri seseorang kepada sukses yang diimpikannya.

Setiap orang, apapun pekerjaannya, di mana pun ia berada, dan bagaimanapun kondisinya, sudah seharusnya menyadari bahwa sikap antusias dapat membawa dirinya pada kehidupan yang lebih baik. Karena, sikap antusias akan membawa kita pada perasaan, pikiran, dan tindakan yang positif. Sikap antusias akan meningkatkan gairah positif dalam kehidupan siapapun. Meningkatkan kualitas hubungan dengan orang lain, membuat seseorang lebih terbuka terhadap ide-ide atau peluang baru, dan bahkan meningkatkan kualitas kesehatannya.

Satu lagi rahasia yang belum banyak diketahui orang, antusiasme dapat “menular” layaknya virus! jika melakukan segala sesuatu dengan atusias, orang-orang di sekitar akan ikut merasakan semangat yang dimiliki seseorang. Hal ini dapat diamati dari lingkungan kerja. Pasti rekan-rekan kerja, bahkan pimpinan pun akan terpengaruh dengan sikap antusias atau semangat yang diperlihatkan seorang karyawan dalam melakukan segala tugas dan kewajiban, seberat apapun pekerjaan tersebut. Mereka pasti akan ikut terbawa arus semangat yang keluar dari diri rekan kerjanya tersebut dan terus berusaha berjuang melakukan yang terbaik dengan penuh antusiasme. semangat! 

Ketipak-ketipuk suara gendangan
Bangunkan tidur si kumbang ngengat
Ayo kawan bergandeng tangan
Satukan tekad tetap semangat

Dr. Esther Nurima, MARS
CORPORATE DIRECTOR

QUICK RESPONSE


Kita sudah biasa membicarakan kecanggihan Jepang dalam kualitas produk, efisiensi proses, inovasi, teknologi, juga keteguhannya melestarikan nilai-nilai budaya timur secara turun-temurun. Dengan bencana gempa dan tsunami yang melanda Jepang baru-baru ini, Jepang sang raksasa Asia memang berduka, namun tidak terpuruk. Jepang malahan kembali membuka mata dunia untuk mengakui betapa mereka memang layak mendapat pengakuan dan pantas menjadi contoh dalam begitu banyak hal. Selain karakter dan kekuatan mental manusianya dalam menghadapi bencana, satu hal yang juga begitu nyata kelihatan adalah responsiveness atau kecepatan bertindak yang luar biasa.
Selain rangka gedung yang lebih kokoh, pondasi karet anti gempa yang terkenal itu, sepuluh menit setelah terjadinya gempa, sudah ada helikopter yang terbang untuk memantau situasi gempa dan mengumandangkan instruksi pada penduduk serta mengingatkan petunjuk menyelamatkan diri. Masyarakatnya pun terlihat sudah begitu terlatih untuk patuh pada “Standard Operation Procedure” saat gempa. Pengunjung di Disney, misalnya, dikumpulkan dan diminta menunggu sampai dengan jam 8 malam. Mereka berbaris rapi dan patuh keluar arena Disney dan di pintu keluar telah dibagikan peta jalur kereta yang bisa digunakan bergiliran pada jam tersebut.
Dalam keadaan tidak bersandang pangan ini tidak seorang pun menjarah makanan dari tempat-tempat yang tidak dijaga penghuninya. Mereka percaya pada gilirannya untuk mendapatkan pembagian logistik. Cerita ini baru segelintir dari begitu banyak contoh kekuatan mental manusia dan kesigapan bertindak yang ditunjukkan oleh Jepang.
Ya, tentunya Jepang tidak bisa disamakan dengan negara-negara lain yang tidak mengalami bencana seperti mereka. Jepang mengalami gempa dahsyat tahun 1923 yang membunuh 100.000 jiwa. Gempa Kobe, tahun 1995, meluluhlantakkan seluruh kota dan menewaskan 6.000 orang. Pengalaman ini membuat Jepang menerapkan dan menyediakan mekanisme quick response yang siap setiap saat. Seakan-akan tidak ada orang yang “bengong” dan menunggu. Dalam kondisi bencana yang datang tiba-tiba dan tidak bisa diantisipasi pun, setiap individu seakan otomatis tahu apa yang harus dilakukan. Para petugas pemerintah segera bergerak memberi bantuan, sebanyak 80.000 tentara, pelaut, penerbang dan ditambah pasukan cadangan semua turun tangan. Jelas negara ini terbukti maju dan membuktikan state-of-the-art dari quick response yang bisa dibuktikan oleh dan untuk setiap rakyatnya. “No country may be better prepared for a major earthquake than Japan” demikian tulis “TIME”.
Situasi ini tentu memaksa kita bercermin pada diri kita sendiri. Kita pun mengalami sendiri bertubi-tubinya gempa di berbagai daerah, baik dalam skala kecil sampai yang mahadahsyat seperti gempa di Aceh. Pertanyaannya, apakah kesiagaan kita sudah bertambah? Pemahaman terhadap penanganan gempa masih begitu minim sosialisasinya. Apakah kita tidak ingin menanamkan kesiapan pada setiap anggota keluarga, karyawan dan lingkungan kita? Kita tentu tidak hanya bicara gempa, namun begitu banyak aspek di sekitar kita, misalnya saja hujan deras yang menimbulkan banjir, kemacetan yang terus meningkat, bahkan teror bom yang datang silih berganti. Tidakkah kita bisa belajar dari keadaan orang lain? Haruskah kita mengalami bencana, “kena batu”-nya dulu, baru kemudian menyusun sistem ‘alertness’?
Berlatih untuk Responsif
Tidak banyak orang yang sadar bahwa kualitas seorang pemimpin atau atasan dinilai dari bagaimana ia merespons terhadap suatu situasi. Begitu gempa terjadi, semua mata tertuju kepada Naoto Kan, Perdana Menteri Jepang, menunggu apa respons yang dilakukannya. Segera setelah gempa, pengumuman dikeluarkan, beliau pun keesokan harinya melakukan kunjungan ke lokasi. Dalam kondisi penyelamatan yang belum sepuluh hari ini, beliau sudah menyerukan rekonstruksi sekolah, distribusi pasokan ikan ke seluruh negara dari pelabuhan Hachinohe, pembangunan 32,800 rumah sementara, prioritas pembagian bahan bakar dan pasokan listrik, serta melakukan komunikasi yang sejelas-jelasnya mengenai bahaya pencemaran nuklir. Respons individu dinilai berkualitas bila ia melakukannya dengan mempertimbangkan kebutuhan orang lain di samping dirinya, menunjukkan kemampuan bekerja sama dan selalu memfokuskan untuk berkomunikasi sejelas-jelasnya, kemudian menindaklanjuti tindakan demi tindakan sampai tuntas.
Sebetulnya kita bisa menguji respons dari berbagai situasi. Bila ada barang jatuh, apakah individu yang punya posisi lebih tinggi mau bergerak mengambil barang tersebut atau menunggu sampai bawahan atau orang yang lebih rendah “derajat”-nya untuk “turun tangan”? Bila ada kegagalan proses kerja, apakah sikap kita cenderung menyelamatkan diri sendiri atau berusaha menyelamatkan orang lain, tim, organisasi dan situasi dari kegagalan yang lebih besar? Kembali belajar dari Jepang, kita melihat bahwa untuk menjadi seorang yang responsif juga dibutruhkan latihan-latihan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus berlatih untuk lebih mendengar aktif, berempati, fokus pada pemecahan masalah, juga disiplin dalam antrian atau kesediaan menggunakan dan merawat fasilitas umum di sekitar kita.
Peduli pada Hal di luar Diri
Tidak mudah memelihara kesigapan berespon bila kita lalai mengevaluasi cara kita memproses tugas dan bagaimana selama ini pelayanan yang kita berikan pada orang lain. Kebutuhan dan keadaan orang di sekitar kita sering berubah. Respons kita pun perlu disesuaikan terus-menerus. Kita memang harus berlatih untuk selalu mengikutsertakan kepentingan orang lain bersamaan dengan kepentingan kita. Bila kita membiasakan ‘mindset’ peduli pada hal-hal di ‘luar’ diri kita, maka tenaga kita pun akan terdistribusi dan tidak terpusat pada diri sendiri saja. Seperti bangsa Jepang, kita pun perlu bercita-cita untuk menjadi contoh, acuan, dan terbiasa untuk melakukan hal-hal yang lebih bernilai daripada sekedar menjalankan tugas, menyelamatkan diri atau berebut fasilitas.
Kompas Karier
Sabtu, 19 Maret 2011
Eileen Rachman & Sylvina Savitri
EXPERD
One Day Assessment Center

Mood Management


Di sekolah kehidupan saya menemukan bahwa kemampuan memanajemeni suasana hati merupakan suatu hal yang amat penting untuk bisa mempertahankan sukacita dalam tugas dan pekerjaan. Ia bertalian dengan kemampuan mengendalikan diri, menjaga hati agar tidak dirusak oleh gangguan atau godaan dari luar. Ia berkaitan dengan apa yang mungkin bisa disebut sebagai kebugaran emosi (emotional fitness).
Orang yang terlatih dan memiliki kebugaran emosi, menunjukkan kemampuan mengelola suasana hati atau mood-nya, sehingga tidak bisa dirusak oleh serangan dari luar. Ia bisa tetap tenang, ketika mendapatkan perlakuan kasar bahkan melecehkan dari pelanggan atau atasan atau pihak lainnya.
Itulah inspirasi yang muncul di benak saya ketika seorang kawan mengirimkan surat elektronik yang memuat cerita tentang ”Pegawai Hotel yang Sabar” berikut ini:
---------------------------------------
Beberapa waktu yang lalu di meja pemesanan kamar sebuah hotel, saya melihat suatu kejadian yang luar biasa tentang bagaimana seorang resepsionis menghadapi tamu yang emosional. Saat itu sekitar pukul lima sore, dan hotel dalam keadaan sibuk mendaftarkan tamu-tamu yang baru check-in. Orang di depan saya memberikan namanya kepada pegawai di belakang meja reception dengan nada memerintah.
Resepsionis itu berkata, ”Ya, Tuan, kami sediakan satu kamar single untuk Anda”.
”Single,” bentak orang itu, ”Saya memesan double”.
Resepsionis tersebut berkata dengan sopan, “Coba saya periksa sebentar.”
Ia menarik permintaan pesanan tamu dari arsip dan berkata, “Maaf, Tuan. Telegram Anda menyebutkan single. Saya akan senang sekali menempatkan Anda di kamar double, kalau memang ada. Tetapi semua kamar double sudah penuh.”
Tamu yang berang itu berkata, ”Saya tidak peduli apa bunyi kertas itu, saya mau kamar double.”
Kemudian ia mulai bersikap Anda-Tahu-Siapa-Saya, seraya memberikan ancaman, ”Saya akan usahakan agar Anda dipecat. Anda lihat nanti. Saya akan buat Anda dipecat.”
Di bawah serangan kata-kata kasar semacam itu, resepsionis muda tersebut menyela, ”Tuan, kami menyesal sekali, tetapi kami bertindak berdasarkan instruksi Anda.”
Akhirnya, sang tamu yang benar-benar marah itu berkata, ”Saya tidak akan mau tinggal di kamar yang terbagus di hotel ini sekarang. Manajemennya benar-benar buruk,” dan ia pun keluar.
Saya menghampiri meja penerimaan sambil berpikir si resepsionis pasti marah atas perlakuan yang baru dialaminya. Namun yang terjadi sebaliknya. Resepsionis itu menyambut dengan salam yang ramah sekali, ”Selamat malam, Tuan.”
Ketika ia mengerjakan hal yang rutin dalam mengatur persiapan kamar pesanan saya, saya tak bisa menahan diri untuk berkata, ”Saya mengagumi cara Anda mengendalikan diri tadi. Anda benar-benar sabar.”
”Ya, Tuan,” katanya, ”Saya tidak dapat marah kepada orang seperti itu. Anda lihat, ia sebenarnya bukan marah kepada saya. Saya cuma korban pelampiasan kemarahannya. Orang malang tadi mungkin baru saja ribut dengan istrinya, atau bisnisnya sedang lesu, atau barangkali ia merasa rendah diri, dan hal tadi adalah peluang emasnya untuk melampiaskan kekesalannya.”
Resepsionis tadi menambahkan, ”Pada dasarnya ia mungkin orang yang sangat baik. Kebanyakan orang begitu.” Sambil melangkah menuju lift, saya mengulang-ulang perkataan resepsionis tadi, ”Pada dasarnya ia mungkin orang yang sangat baik. Kebanyakan orang begitu.”

(Pesan saya: Ingat dua kalimat itu kalau ada orang yang menyatakan perang pada Anda. Jangan membalas. Cara untuk menang dalam situasi seperti ini adalah membiarkan orang tersebut melepaskan amarahnya, dan kemudian lupakan saja.)
---------------------------------------
Apa yang dilakukan oleh resepsionis dalam kasus di atas memang amat mengesankan. Ia memiliki kemampuan memanajemeni suasana hatinya, sehingga perlakuan kasar seorang tamu tidak merusak pelayanannya kepada tamu berikutnya. Ia berada dalam keadaan bugar secara emosional, sehingga menunjukkan kinerja yang baik.
Pertanyaannya adalah BAGAIMANA resepsionis tersebut bisa menanggapi perlakuan kasar tamunya secara demikian? Dengan menyimak cerita tersebut secara saksama, saya mencoba menarik sebanyak mungkin pelajaran dari surat tersebut. Dan inilah yang saya temukan.
Pertama, resepsionis tersebut telah membiasakan diri untuk memegang asumsi bahwa ”kebanyakan orang pada dasarnya baik”. Asumsi yang dipegangnya ini menolong ia untuk berbaik sangka, mencoba mengerti posisi tamunya yang emosional. Sang tamu mungkin baru ribut dengan istrinya, atau bisnisnya bangkrut, atau ia over acting karena sesungguhnya merasa rendah diri. Dengan mekanisme berpikir seperti itu, maka resepsionis tadi dapat menjaga sikap profesionalnya dalam memberikan pelayanan. Tentu akan sangat kontras jika asumsi yang dipegangnya adalah ”kebanyakan orang pada dasarnya brengsek”.
Kedua, ia terlatih untuk menggunakan kata-kata yang menunjukkan perhatian, pengertian, sekaligus ketegasan dalam keramahan. ”Selamat malam”, ”Maaf, Tuan”, ”Saya akan senang sekali bila”, ”Kami menyesal sekali”, adalah contoh kata-kata yang sebenarnya ”standar” dalam pelayanan profesional. Jadi, ia tidak bereaksi berdasarkan suasana hatinya, tetapi berdasarkan kebiasaan menggunakan kata-kata yang baik. Kata-katanya sendiri akan meredam gejolak hatinya. Ia terlatih untuk tetap mengatakan sejumlah hal dalam situasi-situasi yang sulit semacam itu. Nada suara, postur tubuh, ekspresi wajah, dan pilihan kata-katanya akan mempengaruhi tidak saja lawan bicaranya, tetapi dirinya sendiri juga.
Ketiga, ia terlatih mengikuti prosedur standar dalam pelayanan, yakni bertindak berdasarkan informasi yang akurat. Jika ada keraguan, maka ia melakukan pemeriksaan ulang. Ia mengambil dan menunjukkan copy telegram dari sang tamu, dan dengan demikian ia tidak perlu berdebat panjang lebar. Ia juga dibantu oleh komputer yang menunjukkan data mengenai jumlah kamar yang sudah terpesan. Atas dasar semua data tersebut, ia memberikan informasi yang tepat kepada tamu yang sedang dilayaninya. Dengan kata lain, ia didukung oleh sistem informasi – termasuk soal pengarsipan pemesanan kamar via telegram, fax, surat elektronik, dan lainnya – yang baik. Akan sangat berbeda halnya, jika resepsionis tersebut tidak menunjukkan copy telegram dari tamunya. Mereka mungkin terjebak dalam perdebatan yang tak berujung.
Keempat, ia tidak menganggap sikap tamunya sebagai sesuatu yang bersifat menyerang pribadinya. Apa yang dilakukannya adalah tanggung jawab pekerjaaan, dan ia berusaha mengerjakan tugasnya sebaik mungkin. Jika ia sudah melakukan hal terbaik yang bisa dilakukannya, tapi tamunya tidak bisa menerima hal itu, maka ia sudah bebas dari tanggung jawabnya.

Melalui uraian singkat di atas saya ingin menegaskan bahwa kemampuan mengelola suasana hati bukanlah suatu sifat bawaan lahir. Ia merupakan hasil dari sebuah proses pembelajaran. Kita bisa belajar mengelola suasana hati kita dengan pertama-tama belajar menyadari asumsi-asumsi yang kita pegang dalam suatu interaksi dengan orang lain. Kita juga bisa belajar untuk mengucapkan kata-kata yang menenangkan hati kita dan menunjukkan pengertian kepada lawan bicara kita. Cara mengucapkan, intonasi dan kecepatan bicara juga bisa dilatih sampai fasih dan tidak menimbulkan kesalahpahaman. Dan jika ditopang oleh sistem informasi yang akurat, maka orang-orang yang bekerja di bagian pelayanan pelanggan, pusat pengaduan pelanggan, teller bank, para wiraniaga, dan siapa saja yang tugasnya selalu bersinggungan dengan pelanggan, bisa mengaplikasikan hal-hal tersebut di atas sesuai konteks masing-masing. Bahkan lebih dari itu, siapa saja yang merasa sukar untuk mengelola suasana hatinya, bisa mencoba melakukan hal yang sama.


Salam pembelajar mahardika!
Andrias Harefa, Penulis buku terlaris Menjadi Manusia Pembelajar [Kompas, 2000] dan fasilitator www.pembelajar.com

If It’s Important, You’ll Find A Way. If It Isn’t, You’ll Find An Excuse


March 28 2011

Some people dream of success, others make it happen. Of course, you can dream as much as you like but waiting for things to happen gets you nowhere. Get active and start making things happen.

Whatever journey your path takes you on, the most important thing is to have passion in what you do.

How many of you went to college, got your degree, and ended up doing something totally unrelated to your major? Studying it did not make you passionate about it. It wasn’t your path.

Education or even talent aren’t worth much without passion. So do the stuff that you love and you've always wanted to do because without it, you'll feel stuck and unfulfilled. If you work in a bank but your dream is to be a naturopath, then make those changes now. Make this year the turning point in your life. When you do what you love you will be rewarded — it will just flow naturally.
Look at those around you who just make things happen. They have a clear goal in mind and they know where they want to go. They don't always have a plan but they have the passion and the tenacity to make it work, and they achieve their goals as the end result.

Trust us when we tell you this. If something important to you, you WILL find a way. If it isn't, you'll find an excuse. It’s that simple. Find your way. Make it work, whatever it takes. Are you 10 kilos heavier than you should be? It is simple: Commit, go to that gym every day, no excuses, and train until you lose those 10  kilos. When you accomplish this, you'll have the confidence to do more. Set a goal and make it happen.

Want to stop smoking? Stop making excuses, take control of your circumstances before they take control of you.

Success isn't just about what you accomplish in your life, it's about what you inspire others to do and when you do accomplish something as simple as quitting smoking or losing weight, you'll inspire others to do the same. Anyone can change the world, and everybody should try. And it all starts with your own life.

Stop waiting for the perfect time to do what you want to do. Do it now.

Life begins at the end of your comfort zone, so get used to being uncomfortable. It won’t kill you.

Do you need a sign? Here it is:  http://www.thecoolhunter.net/images/sign.jpg

written by 
Bill Tikos in thecoolhunter.com

Katakan sekali lagi! Berkali-kali!


Waktu saya membaca artikel Harvard Business Review yang akan terbit Mei 2011 depan berjudul Effective managers say the same thing twice (or more), saya merasa bahwa laporan studi Prof. Neeley (Harvard Business School) dan Leonardi (Northwestern University) tersebut banyak benarnya. Intinya ada dua: Komunikasi itu sulit dan mahal ongkosnya.
Studi tersebut merekam tiap perilaku komunikasi (mengirim dan menerima pesan) dari 13 manajer di 6 perusahaan selama lebih dari 250 jam (secara kumulatif). Riset ini menemukan bahwa 14% dari komunikasi yang dilakukan bersifat pengulangan pengiriman/penerimaan pesan yang sama, hanya saja dengan menggunakan media yang bervariasi (seperti tatap muka, e-mail, chat, telepon, dan nota dinas)
Temuan lainnya yang menarik dari penelitian di atas adalah pengiriman/penerimaan pesan berulang ternyata menghasilkan penyelesaian pekerjaan yang lebih cepat karena lebih sedikit menghadapi hambatan. Para manajer yang membaca laporan studi ini merasa temuan tersebut merupakan sesuatu yang wajar, dan memang sudah biasa mereka hadapi sehari-hari.
Menyaksikan hal-hal serupa ini terus terjadi membuat saya merasa perlu membuat catatan yang semoga dapat membantu para pimpinan organisasi perusahaan mengatasi permasalahan komunikasi di dalamnya, khususnya perusahaan-perusahaan yang sedang bertumbuh dengan cepat.
Pertama: Pertumbuhan perusahaan dan memburuknya komunikasi
Yang menarik diperhatikan adalah pada masa awal pertumbuhannya, suatu perusahaan umumnya dapat bertumbuh dengan cepat karena kekompakan dan suasana kerja yang kondusif. Biasanya hal ini dimungkinkan karena komunikasi yang lebih baik lebih mudah terbangun di dalam organisasi yang masih kecil ukurannya. Seiring dengan pertumbuhan perusahaan, kerumitan organisasi cenderung terus meningkat dan kelancaran komunikasi sebaliknya cenderung menurun.
Informalitas hubungan komunikasi pada saat skala perusahaan masih relatif kecil mengakibatkan pendekatan persuasif lebih bayak digunakan oleh para manajer. Ketiadaan atau terbatasnya otoritas formal mengakibatkan para manajer berkomunikasi dengan lebih lancar, sekalipun pengulangan lebih banyak terjadi. Media informal yang digunakan pertama-tama oleh manajer tipe ini adalah media yang bersifat instan, seperti tatap muka dan chatting; baru kemudian diperkuat dengan reminder melalui media yang bersifat lebih berjarak, seperti e-mail atau nota dinas. Menurut hasil studi yang saya kemukakan di atas, manajer yang tidak mempunyai otoritas formal akan mengulangi pesannya, 9% lebih banyak daripada manajer yang memiliki otoritas formal.
Sementara itu, manajer pada perusahaan yang lebih besar dan memiliki formalitas otoritas yang lebih jelas, umumnya memilih media komunikasi yang berjarak terlebih dahulu, seperti e-mail atau nota dinas atau SMS. Para manajer di organisasi yang lebih besar dengan otoritas formal lebih tinggi umumnya melakukan pengulangan pesan 12% dari total pesan yang mereka kirimkan.
Menurunnya persentase pengulangan pesan pada organisasi yang lebih besar dan birokratis ternyata menurunkan efektivitas komunikasi internal organisasi pada gilirannya. Banjir informasi di zaman ini ternyata malah mensyaratkan adanya pengulangan pesan para manager secara kuat agar pesan‑pesan tersebut dapat mencapai sasaran, yaitu para penerima pesan yang harus merespons pesan tersebut dengan baik dan tepat waktu.
Kedua: Kesiapan mengubah gaya komunikasi
Ketika organisasi membesar ukuran dan dan kerumitannya akibat pertumbuhan yang terjadi, maka para manajer dan pimpinan perusahaan harus secara sadar dan sengaja mengubah gaya komunikasi mereka. Hal ini biasanya tidak secara alamiah begitu saja. Pertambahan jumlah anggota organisasi baru (terutama di tingkat manajerial) yang biasanya memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan skala usaha, jelas menuntut penyesuaian yang mendasar dari para manajer yang sudah ada pada saat skala usaha masih jauh lebih kecil. Trust merupakan isu besar dalam hal ini.
Salah satu kiat penting yang dapat menjembatani masalah trust di atas adalah pada saat perusahaan sudah mulai menunjukkan gejala ada potensi untuk bertumbuh dengan cepat, pimpinan organisasi perusahaan segera mengalokasikan waktu dengan serius untuk merumuskan budaya dan media berkomunikasi dalam organisasi agar terkristal secara sadar.
Tanpa komunikasi yang baik dan lancar, maka gegap gempita pertumbuhan organisasi, apalagi pada perusahaan publik, hanya akan menimbulkan lebih banyak salah pengertian, sehingga pada gilirannya akan menghasilkan kemandekan laju pertumbuhan. Manajer yang bijak, terutama pada perusahaan publik, pertama-tama harus mampu membangun alam komunikasi dalam organisasi yang sehat, sebelum mampu berkomuikasi dengan para stakeholders eksternal mereka secara efektif.
Kiat kali ini: Jangan ragu mengatakan sekali lagi, berkali-kali! Sehingga semua pesan-pesan penting dalam organisasi dapat mengalir menuju tujuannya dengan efektif. Katakan sekali lagi, berkali-kali!

Bisnis Indonesia,
26 April 2011
Strategi mendorong pertumbuhan perusahaan publik
Oleh: Alberto D. Hanani, managing Partner BEDA & Company

SALAH UNTUK MENANG


Sering sekali hal-hal yang tidak enak terjadi di luar kesengajaan kita. Dalam dunia ‘real time’ dan media sosial yang ‘tell all’ begini, apapun yang dinilai tidak pantas segera menjadi bahan diskusi, sindiran dan sosok bulan-bulanan. Komentar negatif yang dilontarkan terhadap sebuah restoran tiba-tiba membuat orang lain terdorong timpal-menimpali kejelekan restoran tersebut. Foto ‘nakal’ dari masa lalu yang tersebar luas, bisa membuat individu diberi label negatif untuk masa yang panjang. Atasan yang salah bicara dalam rapat bisa membuat seseorang yang tadinya dikagumi menjadi disudutkan. Pejabat yang tiba-tiba ‘tertangkap’ oleh kamera melakukan perbuatan yang tidak patut, mau tidak mau harus siap “mempertanggung jawabkan” keteledorannya. Kita sangat sadar bahwa nasib kita tidak selalu di atas angin. Kesalahan yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak, sekejap mata bisa merusak reputasi dan langsung akan berdampak pada daya jual, respek dan penerimaan orang. Apalagi, kita juga sadar bahwa kepemimpinan dan hubungan bisnis sangat bergantung pada hubungan baik secara interpersonal.
Seorang direktur di perusahaan multi nasional tadinya berkeyakinan untuk mengabdikan diri sampai akhir masa kerjanya di perusahaan ini. Tiba-tiba dengan anjloknya angka penjualan yang sebelumnya sudah diprediksi dan dibicarakan di rapat, yang bersangkutan di ‘singkir’kan tanpa alasan yang jelas. Teman saya sering berkomentar: “Things happen”, dan kita memang harus siap untuk menghadapinya. Namun, dalam kepemimpinan dan juga dalam bisnis, kejatuhan atau kegagalan sering sekali ‘tidak tertahankan’. Banyak orang yang benar-benar merasa terpuruk, malu dan sulit untuk bangkit . Teman saya yang disingkirkan itu mengatakan: “lebih baik saya keluar dari perusahaan ini daripada harus terpukul gengsi”. Bobot hubungan interpersonal dalam kepemimpinan dan bisnis sangat besar. Ini sebabnya banyak pemimpin yang sangat sadar bahwa ia betul-betul harus berhati-hati dalam bertindak. Apakah selalu berarti “sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”. Tetapi bukankah sangat manusiawi bila orang sesekali berbuat salah? . Bukankah justeru hubungan akan diwarnai rasa percaya bila kita pernah melewati masa masa sulit dan menyaksikan bagaimana seorang atasan, pimpinan atau perusahaan justeru bertahan dan bahkan bangkit dari keterpurukan? Dalam dunia ‘realtime’ dan media sosial yang ‘tell-all’ begini, justeru kita perlu memperhitungkan, bahwa kita tidak bisa bersembunyi dari kesalahan, kegagalan, dan ketidak beranian mengambil resiko. Semakin kita bekerja secara otentik dan transparan, semakin kita mudah meramal kesalahan dan kegagalan dan semakin siap kita terhadap pandangan orang terhadap kesalahan kita.
Jangan sembunyi
Perusahaan pizza yang terkenal dan tumbuh sangat pesat tiba-tiba mendapat komentar yang bertubi-tubi di media sosial. Dikatakan bahwa pizzanya keras, dan tidak ‘fresh’ lagi. Delivery yang tadinya dijamin 30 menit pasti sampai, sekarang ternyata tanpa malu-malu terlambat sejam lebih. Ada pelanggan yang mengatakan “Perusahaan pizza ini pasti ambruk”. Kenyataan ini sangat diakui oleh perusahaan tersebut bila mereka tidak melakukan sesuatu. Yang kemudian dilakukan adalah, membongkar kembali resep-resep lama, bereksperimen dengan menu dan kombinasi baru. Hal yang paling mengejutkan adalah dalam iklannya, perusahaan ini meng’iya’kan bahwa servis dan produknya pernah gagal, tetapi mereka sekarang sudah melakukan perbaikan dan mempersilahkan para pelanggan mencobanya. Para pelanggan yang menyaksikan iklan, memberi komentar positif dan menyatakan respek terhadap policy perusahaan yang jelas dan segar ini. Hal yang paling penting lagi adalah para pelanggan lama mulai lagi mencoba pizzanya dengan rasa baru. Keterpurukan perusahaan ini justeru merupakan genjotan baru bagi perusahaan ini untuk bangkit.
Apa senjatanya. Dengan sikap ‘gentleman’ perusahaan ini mengakui kesalahannya, dan memperlihatkan bagaimana ia pemperbaiki kesalahan tersebut. “Failure point’ ini malah dibalik sehingga penjualan berlipat ganda. Tidak heran juga bila kita tidak berkometar negatif lagi tentang pejabat yang mengaku salah dan segera mengundurkan diri. Mungkin nama baik sudah tercoreng, tetapi paling tidak untuk ke depannya, ia masih berkesempatan memperbaiki diri, bermodalkan tanggung jawab dan sikap ‘fair’nya itu.
Berstrategi dalam menangani kesalahan
Teman yang juga sedang mengalami keterpurukan pernah berkomentar bahwa mengalami, menghadapi bahkan mengakui kesalahan baru terasa adalah sebuah tugas yang berat tetapi memang termasuk dalam upah kita sebagai pemimpin. Daripada mengerahkan energi untuk menghindari kesalahan, kita lebih baik membangun organisasi yang tahan kesalahan. CEO baru perusahaan mobil Ford, Alan Mulally, pada rapat pertamanya dengan para eksekutif, menanyakan, pendapat para eksekutif untuk memberi warna tentang keadaan perusahaan. Hijau untuk situasi mulus, kuning waspada, dan merah untuk keadaan bahaya. Semua orang mengangkat kartu hijau. Pak CEO kemudian meminta mereka berfikir dalam-dalam lagi dan kemudian kembali dengan penilaian baru. Orang pertama yang mengacungkan warna merah kemudian di aplaus oleh CEO nya sendiri, dan kemudian situasi yang digambarkan itu dibahas oleh seluruh tim. Saatnya kita membuka mata, “Create a new culture that could admit when something was going wrong, and do so early enough so that the organization could still have an impact on the outcome.” Dengan demikian tim terbiasa bersikap waspada dan terbiasa melihat kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.
Banyak orang mencampuradukkan kesalahan dengan tidak berprestasinya individu atau perusahaan. Padahal kedua hal ini jelas berbeda. Kesalahan memang harus diantisipasi, boleh saja di‘punish’, tetapi kita perlu berlatih untuk tidak menyerang individu dan memandangnya sebagai ruang untuk menemukan jalan keluar, menjadi lebih kuat dan memberi momentum “naik kelas”.

Kompas Klasika,
Sabtu, 16 April 2011
Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Beyond Passions: Masters of The Art of Living


Makan bersama bagi saya adalah ritual yang menyenangkan. Saya selalu berargumen semua panca indera akan aktif dalam sebuah jamuan, terlebih kalau dibarengi obrolan yang menarik dengan orang-orang yang seru. Banyak kenangan terbaik saat terjadi makan bersama dalam berbagai kesempatan.
Tidak sekadar bicara soal pemenuhan kebutuhan nutrisi, cita rasa, tekstur, harum, bahkan suara yang muncul saat proses pemasakan juga asyik untuk dicermati. Walaupun masih jauh dalam kaliber para idola saya @PakBondan dan @GatotPurwoko, saya berani berkata bahwa kuliner adalah salah satu passion saya.
Sebagai wujud manifestasi passion atas makanan, saya pernah buka usaha restoran. Saat menerjuni bidang tersebut, saya menyadari bahwa sekadar bermodalkan passion saja tidak cukup. Usaha yang pernah saya rintis bersama beberapa teman harus terseok-seok karena berbagai macam alasan. Faktor eksternal memang punya andil, tetapi faktor justru ada pada diri saya sendiri. Belakangan saya menyadari passion atas kulineri tertutupi oleh pertimbangan bisnis,  dinamika organisasi, kebutuhan mendapat pengakuan dan segala bentuk komplikasi lain. Pada akhir keterlibatan dalam usaha restoran, saya mendapati diri sekadar bekerja tanpa hati, berkegiatan tanpa keriaan, dan berusaha tanpa kepedulian.
Are we just living a life or are we masters of the art of living? Sebutan kalimat judul diatas saya petik dari filsuf Cina, Lao Tse yang berbunyi, “orang-orang yang piawai dalam seni kehidupan TIDAK membedakan antara pekerjaan dengan permainan, antara kesibukan dengan keasyikan, antara pendidikan dengan rekreasi, antara pikiran dengan hati, dan antara kasih sayang dengan agama.” Petikan ini saya jadikan mantra hingga saat ini.
Passions are just a starting point- there are more to consider in career & life. Tanpa mengecilkan peran passion, terdapat hal- hal lain yang juga harus dipertimbangkan, yaitu purpose (what matters the most), talenta, dan pemahaman taktis bagaimana dunia bergerak. Apa jadinya kalau punya passion dalam hal musik, tetapi suara pas-pasan? punya passion pada dunia basket tetapi tinggi badan tidak menunjang?
Your passion already within you- always start with what you have and from where you are. Ibarat benih tanaman yang akan ditanam, passion juga butuh tanah subur dan ketekunan bercocok tanam. Tanah subur adalah perusahaan, industri, pasar yang mendukung aktualisasi passion. Selain itu, ketekunan bercocok tanam adalah konsisitensi dalam meningkatkan talenta atau skills selama minimal 10.000 jam.
The art of living is the art of combining your passion, purpose, skill & Market. Saya angkat topi pada sahabat saya @andiraa dan @ShaniBudi saat mendirikan Save/As. Kolaborasi mereka adalah wujud kesetiaan pada passion dan purpose sambil ditunjang upaya peningkatan skill dan pemahaman pasar yang berkesinambungan. Kerja dan karya mereka seolah effortless.
Pada tahap ini, saya masih terus belajar memahami esensi master of the art of living. Lao Tse juga menyebut, tujuan kehidupan adalah kesempurnaan perjalanan hidup itu sendiri. Bekerja atau bermain? Sibuk atau asyik? Pendidikan atau rekreasi? Orang lain boleh berpendapat apapun, tetapi kita paham keduanya sama. Nisi credideritis, non inteligetis.
Kompas Klasika,
Sabtu, 16 April 2011
Ultimate-U
with Rene Suhardono

Monday, June 6, 2011

RUJUK (Ramah, Rajin, Ulet, Jujur, Kreatif)

Saya punya kenalan, seorang wanita. Saya biasa memanggil namanya Mbak Susi, usia beliau lima tahun di atas saya. Mbak Susi tujuh bersaudara, dia anak nomor empat, memiliki tiga kakak perempuan dan tiga adik laki-laki. Selepas SMA di kampung, Mbak Susi merantau ke Jakarta. Waktu itu saya tak tahu apa pekerjaannya di Jakarta, maklum, dia lulus SMA saya masih SD. Ketika saya masih tinggal di kampung, setiap hari raya Lebaran, Mbak Susi kerap pulang dan kami saling sua. Waktu itu kelihatannya dia masih biasa -biasa saja, tak seperti mereka yang mengadu nasib di Jakarta yang ketika Hari raya Lebaran berdandan sekalian memamerkan hasil jerih payah bekerja di Ibu Kota. Saya baru tahu apa pekerjaan Mbak Susi ketika sudah beberapa bulan saya bekerja dan tinggal di Jakarta, itu di tahun 1981, setelah saya lulus STM Pembangunan Semarang. Ketika libur akhir pekan, saya main ke rumah tempat tinggalnya di kawasan Jakarta Timur. Ternyata Mbak Susi dan suaminya berbisnis tekstil, khususnya garmen dan sablon yang cukup terkenal di Jakarta ini. Bagaimana perjalanan nasib Mbak Susi hingga menjadi juragan garmen, kaos, sablon yang sukses?
Pada beberapa kesempatan bertemu, setiap saya main ke rumahnya sambil lalu saya bertanya bagaimana riwayat perjalanan hidupnya. Sedikit-sedikit dia bercerita. Mengawali kariernya di Jakarta, Mbak Susi sempat numpang di rumah kerabatnya, sambil melihat peluang mendapatkan pekerjaan. Sambil bantu -bantu urusan rumah tangga, Mbak Susi mulai menyebar lamaran ke sana - kemari berbekal ijasah SMA-nya. Sebulan, dua hingga tiga bulan belum satupun lamaran yang dikirim ke berbagai kantor mendapat tanggapan. Pada suatu hari, dalam perjalanan pulang ke rumah kerabat di mana dia tinggal, Mbak Susi berhenti di terminal Blok M, dia terpesona melihat indahnya gedung Aldiron Plaza (yang waktu itu masih baru). Seperti ada yang menuntun kakinya melangkah memasuki gedung pertokoan megah di Jakarta pada waktu itu. Lantai dasar di kelilinginya, sembari melihat-lihat barang yang ditawarkan di toko-toko. Naik tangga berjalan ke lantai atas dia terkesan sekali karena baru kali itu dia merasakannya. Sampai di lantai dua, matanya membaca tulisan "Menerima Tenaga Wanita Untuk Pramuniaga" yang tertempel di kaca pajangan sebuah toko. Dia termangu, berpikir sejenak dan akhirnya memutuskan untuk memasuki toko tersebut.
Setelah masuk toko tersebut dia langsung bertanya apakah pengumuman yang dipampang masih berlaku? seorang wanita muda yang menunggui toko tersebut menjawab "masih" dan langsung Mbak Susi mengajukan lamaran, dan setelah bincang dengan si wanita yang ternyata istri pemilik toko, ia diterima sebagai pegawai, dan sejak hari berikutnya Mbak Susi sudah resmi menjadi penjaga toko tekstil milik orang Padang kelahiran Bengkulu. Haripun berlalu, Mbak Susi tekun dan rajin bekerja menjajakan tekstil. mungkin karena pembawaannya yang ramah dan pintar bicara hingga tokonya ramai, si pemilikpun senang. Setelah tiga tahun bekerja di toko tersebut, Mbak Susi dipercaya untuk mengelola toko yang di Aldiron, sementara pemilik membuka cabang di Tanah Abang dan tempat lain. Ternyata toko - toko yang lain merugi hingga akhirnya ditutup, hanya toko di Blok M, yang dikelola Mbak Susi yang memberi untung.

Perjalanan hidup: lahir, mati, jodoh, rejeki hanya Tuhan yang tahu. suatu hari, karena sakit yang dideritanya, istri si pemilik toko meninggal dunia. Sepeninggal istrinya Pak Pemilik sama sekali tak menghiraukan keberadaan toko miliknya. Menghadapi situasi semacam ini Mbak Susi bingung tak tahu apa yang harus dilakukan. Namun dia tetap membuka dan mengelola toko sebagaimana biasanya. Setiap minggu dia lapor kepada Boss-nya yang cukup lama berduka atas kepergian istrinya, sementara mereka tak memiliki anak. Dua tahun lebih suasana seperti ini terus berlangsung. hingga suatu hari si pemilik toko datang mengunjungi Aldiron, dan memberikan separo saham toko itu kepada Mbak Susi. Tak menyangka akan diberi hak kepemilikan atas bisnis tersebut, Mbak Susi hanya mengangguk patuh saja.

Sejak itu si pemilik mulai rajin menyambangi toko, tentu mereka bertemu. Rupanya benar kata pepatah "witing trisno jalaran soko kulino". lambat laun timbul cinta di antara mereka, dan akhirnya mereka menikah, dan kemudian berputra dua anak laki-laki. pasca mereka menikah, mbak Susi tetap mengelola toko di Aldiron, dia sering mendapat permintaan kaos sablon, bendera partai dan barang-barang sejenis untuk kostum olah raga maupun event tertentu lainnya. peluang semacam ini disambut Mbak Susi dengan mengusulkan kepada suaminya untuk merintis bisnis baru: garmen kaos, jaket dan sablon. suaminya yang semula ragu berhasil diyakinkannya. dan perjalanan waktu membawa mereka sukses menjadi pebisnis garmen kaos, jaket sablon, bordir.

Saya berpendapat Mbak Susi dan suaminya berhasil meraih sukses. Apa rahasia sukses mereka? mereka berkenan membuka rahasianya dengan menyebutnya RUJUK (ramah, rajin, ulet, jujur dan kreatif). Mbak Susi menyadari dirinya hanyalah wanita ndeso yang hanya berijasah SMA, untuk mendapatkan kerja kantoran tentu kalah bersaing dengan mereka yang lulusan sarjana, maka ketika melihat ada kesempatan kerja langsung diputuskannya untuk melamar. keramahan membuka pintu bagi masuknya penerimaan orang lain kepada dirinya, begitupun dalam keseharian bekerja di tokonya, keramahan akan membuat orang yang datang ke tokonya merasa betah, yang semula tak niat membeli ehhh tak urung membeli pula sepotong dua potong kain. Rajin, jarang mangkir, datang sebelum jam buka, pulang paling akhir, mengerjakan apapun yang layak dikerjakannya tanpa menunggu perintah. Ulet, tak mudah menyerah ketika hadapi persoalan mudah maupun pelik. Jujur, tidak suka mengambil duit milik majikan meski sudah diberi kewenangan untuk mengelolanya, dan kreatif, tak puas hanya dengan keberadaan yang dihadapinya, selalu mencoba hal baru, aktif melihat peluang, peduli dengan keberadaan toko, sebelum diberi hak saham dia mengelola toko seperti sudah menjadi miliknya.


PERCAYA DIRI TIDAK CUKUP

Ini kisah lain lagi, saya punya kawan, kami pernah satu sekolah, namanya Adi. Adi punya istri namanya Ilma. nah ini cerita soal Ilma. Adi dan Ilma punya tiga anak perempuan yang sekarang sudah remaja. Adi berprofesi sebagai PNS sementara Ilma bekerja di sebuah lembaga keuangan, posisi Ilma sebagai manajer bidang pengembangan kapasitas organisasi (Organizational Capacity Development / OCD). belum lama ini saya bertemu Adi dan Ilma, Adi orangnya agak pendiam, jadi yang banyak bicara Ilma. ilma cerita bahwa dirinya sudah masuki usia mid-forty, menurut aturan perusahaan dia sudah bisa ajukan pensiun dini, selain sudah mid-forty, masa kerjanya juga sudah lebih dari 15 tahun. mendengar bukaan ceritanya, saya bertanya, lepas pensiun mau kerja apa?

dengan mantap Ilma menjawab "mau buka bisnis konsultan, Mas" saya menukas lagi "konsultan bidang apa?" ilma dengan tegas "ya sesuai bidang yang saya lakukan di perusahaan sekarang ini, bidang OCD" lantas dia cerita panjang lebar bagaimana peluang pasar dari bisnis konsultan bidang OCD ini yang masih terbuka lebar, dan dia sangat percaya diri untuk bisa suskes menjalani bisnis ini kelak. namun setelah dia cerita panjang lebar, Ilma masih bertanya kepada saya, 'bagaimana memulai usahanya ya Mas? dan  apa resep untuk suskes menjadi konsultan?'

SECEPATNYA ITU KAPAN?

ini kisah saya sendiri tadi (Kamis 2-6-2011) sore. sepulang dari Takziah meninggalnya mas Yahya Windono Tresno (adik Ibu Bagiono Joko Sumbogo) kami (saya, istri dan anak bungsu) mampir ke ACE Hardware di Pondok Indah Mall 1 untuk membeli barang-barang keperluan rumah. saya mau membeli pipa penyedot Vacum Cleaner, untuk menganti barang serupa yang hilang entah diambil siapa. beberapa bulan lalu saya membeli Vacum Cleaner tersebut di toko yang sama, jadi kami pikir mungkin ada jual sparepart-nya.

sampai di rak nomor 30 tempat dipajangnya barang-barang kebersihan, termasuk vacum cleaner, saya bertanya kepada pria berseragam pramutoko yang di dadanya ada Nametag tertulis nama ADE, "apakah ada pipa penyedot vacum cleaner (terbuat dari logam di-vernicle) yang dijual terpisah dari unit utamanya?" Ade menjawab dengan bertanya "untuk VC merek apa Pak?" saya menjawab "apa ya... warnanya kuning seperti ini' saya lupa mereknya. lantas Ade berkata "oo itu merek Kurchner', kami tidak menjual merek itu lagi Pak. saya menyahut, lha saya membeli di sini beberapa bulan lalu", Ade "beberapa bulan lalu saya belum di sini Pak" saya" Anda belum bekerja di sini, tetapi toko ini kan sudah ada" Ade hanya diam saja. saya "emang Anda sudah berapa lama kerja di sini?" Ade "baru tiga bulan, Pak." lantas saya berkata, "di mana saya bisa mendapatkannya?" Ade "Bapak bisa ke Pulogadung... kantornya di sana" mendengar kata Pulogadung yang diucapkannya dengan enteng dada saya agak tersengal. lantas saya berkata lagi "kalau yang seperti ini ada ndak?' sambil menunjuk ke VC yang terpajang.. Ade "kalau ini ada Pak". saya amati ukurannya, diameter dan koneksinya sama dengan yang dulu kami punya. kemudian saya berkata "saya mau beli" Ade "oo mesti indent Pak" saya "berapa lama?" Ade "tidak tahu Pak, saya mesti cek ke kantor pusat". saya "silakan cek, saya tunggu Mas". Ade mulai agak bingung dia berkata "anu Pak, kantor pusatnya tutup, begini saja Pak, saya catat nama dan nomor telepon Bapak, nanti kalau sudah ada saya kabari". lantas dia mengeluarkan notes dan bolpoint, mencatat nama dan nomor telepon saya. lantas saya bertanya lagi "kapan Anda mau kabari saya?" Ade "secepatnya, Pak." saya "secepatnya itu kapan, semenit, sejam, seminggu, sebulan atau setahun dari sekarang saat ini?" nada suara saya sudah mulai meninggi. Ade "saya tidak bisa memastikan Pak, pokoknya secepatnya". Saya hampir hilang kesabaran, untung segera ingat ada banyak orang di toko tersebut, dan akhirnya saya hanya bilang "Kalau cara kerjamu jualan seperti ini, saya yakin sampai kamu tua akan tetep jadi pelayan toko, hidupmu penuh dengan penyesalan" mendengar omongan saya yang terakhir ini dia diam saja dan sayapun beranjak meninggalkan rak alat-alat kebersihan sambil menjinjing belanjaan lainnya.

ADA APA INI?

Tiga kisah nyata di atas saya sajikan bukan tanpa maksud. Mbak Susi berhasil meraih sukses setelah mengawali karir sebagai penjaga toko seperti Ade. bedanya Mbak Susi menjaga toko tekstil Ade menjaga toko barang - barang perangkat keras (hardware) keperluan rumah tangga. Mbak Susi berijasah SMA, saya tak tahu modal ijasah pria bernama Ade ini, saya duga ijasahnya paling tidak Diploma (di atas SMA). Mbak Susi ramah, cerdas, proaktif membantu dan pintar menjalin hubungan baik dengan calon pembeli sehinga yang semula tak berniat belanja akhirnya membeli sepotong-dua. Ade sebaliknya, orang yang butuh (bukan sekedar ingin) dan memiliki kekuatan untuk membeli, dimentahkannya dengan ketidak-mampuan berkomunikasi dengan baik, bersikap sopan dan gagal memberi informasi sedemikan rupa sehingga si calon pembeli memutuskan untuk membeli walau harus menunggu barangnya tiba.

Di tengah dua contoh yang kontradiktif ada Ilma yang baru mulai ingin merintis karier sebagai pemberi jasa konsultansi. Ilma seorang sarjana bahkan magister bidang manajemen. dia penuh percaya diri, namun menyadari ketidak-tahuannya bagaimana memulai berbisnis. Dalam banyak hal Ilma memiliki kemiripan perilaku dengan Mbak Susi, bedanya hanya usia dan tingkat pendidikannya. Ilma menyadari keterbatasannya, dan dia mau bertanya kepada yang dianggapnya tahu untuk mendapatkan bekal mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Akankah Ade akan bernasib seperti yang saya sumpahkan? hanya Allah SWT yang tahu. kalau begitu mengapa saya berani mengeluarkan serapah yang menyangkut nasib orang lain? pakailah logika. hari gene orang kerja di perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan, yang kompetisinya ketat, yang tuntutan kinerjanya tinggi, yang margin-nya semakin hari semakin tipis, yang regulasinya semakin ketat, yang pelanggannya semakin pintar dan demanding untuk dilayani lebih baik; masih mau arogan, masih ingin mendahulukan egonya, masih mau membanggakan asal-usulnya, prestasi masa lalunya, masih suka meremehkan penampilan fisik pembeli, masih suka malas-malasan, masih suka nyolong waktu dan mencuri harta perusahaan, masih suka melakukan pekerjaan yang mubazir, boros dan tidak efisien? gunakan akal sehat. bila ada orang yang seperti itu, rasionalitas  dan bukti empirik memberikan fakta bahwa sikap seperti itu adalah sikap orang - orang yang kalah, baik sekarang, hari ini besok dan seterusnya untuk waktu yang panjang, kecuali jika yang bersangkutan mampu dan mau mengubah perilaku, tabiat dan sikap tindaknya. yang bersikap positif seperti Ilma-pun belum jaminan bahwa kelak dalam menjalani profesi sebagai konsultan akan meraih sukses, bukan?

--
Best Wishes and Success for you, from
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi - Membangun Teknologi Bermartabat